Rabu, 11 April 2012

Makalah tentang As-Sunnah Berdasarkan Kaum Orientalis

As-Sunnah berdasarkan kaum Orientalis


Pendahuluan
                Hadits menurut bahasa berarti baru, dekat, atau berita. Sedangkan menurut istilah berarti segala ucapan, perbuatan, dan ketetapan dari Nabi Muhammad SAW. Dalam Khazanah ilmu-ilmu keislaman, istilah hadits sering disebut dengan istilah Sunnah yang menurut bahasa berarti jalan yang dijalani baik yang terpuji ataupun tidak.
Dalam konteks sumber ajaran islam hadits atau sunnah menempati urutan kedua setelah Al-Quran. Namun perlu kita ketahui bahwa as-sunnah atau hadits masih menjadi perdebatan di kalangan kaum berilmu atau ulama’, yaitu mengenai keshohihan suatu hadits. Ada eberapa kaum yang meyakini dan mengatakan bahwa seluruh hadts itu Shohih semuanya dan adapula yang meyakini bahwa hadits itu palsu belaka. Speperti halnya kaum orientalis yang cenderung pada pendapat yang kedua, yaitu berkeyakinan bahwa semua Hadit itu tidak otentik atau palsu semua karena tidak berasal dari Nabi Muhammad. Kaum orientalis yang dimaksud disini adalah para sarjana Barat yang notabenenya non muslim (Yahudi, Kristen,atau bahkan Atheis) Namun mereka sibuk mengkaji Islam beserta seluk beluknya, Yang termasuk tokoh-tokoh orientalis adalah Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, G.H.A. Juyn Boll, dan lain-lain.
Dalam makalah ini pemakalah akan memaparkan tentang pengertian orientalis, sejarah orientalis, pandangan orientalis, pengaruh orientalis. Dan ulasan ringkas atas upaya-upaya yang dilakukan oleh para orientalis dalam menggugat otentisitas Hadist Rosul dan meruntuhkan otoritasnya sebagai salah satu sumber ajaran Islam.


Pembahasan
·         Pengertian Orientalisme
Orientalisme berasal dari dua kata, orient dan isme diambil dari bahasa Latin oriri yang berati terbit. Secara geografiskata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Sedangkan istilah isme berasal dari bahasa Belanda atau isma dalam bahasa latin atau ism dalam bahasa Inggris yang berarti  a doctrine, theory of system, atau pendirian ,ilmu, paham kepercayaan, dan system. Jadi menurut bahasa orientalisme diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia Timur.[1]  Adapun yang berpendapat bahwa orientalisme adalah faham yang berkeinginan  menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa timur dan lainny. Faham ini berfokus pada dunia Islam. Dengan demikian para orientalis mempunyai harapan dalam mengkaji biografi Nabi Muhammad seperti merembetnya tuduhan dusta dan pernah mendapat julukan sebagai ahli sihir, kekerasan, menyiarkan agama dengan pedang.[2] Sedangkan orientalis adalah orang-orang Barat yang menganut paham orientalisme.[3]
·         Sejarah, Pertumbuhan, dan Perkembangan Orientalis




·         Selayang pandang tentang kajian orientalis
Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan mantan guru besar di Universitas Birminghom, Inggris, mengumumkan bahwa, “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Al-quran sebagaimana  telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani. Adapun latar belakang mereka menyeru seperti demikian adalah karena dilatarbelakangi oleh kekecewaan sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan juga disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat islam dan kitab suci Al-Quran. Perlu diketahui bahwa mayoritas ilmuwan dan cendekiawan Kristen sudah lama meragukan otentisitas Bible yang ada di tangan mereka saat ini terbukti bukan asli alias palsu. Banyak campur tangan manusia, sehingga sukar dibedakan mana yang benar-benar asli dan mana yang bukan.
Menurut kaum orientalis, Bible yang beredar sekarang ini bukanlah ditulis berdasarkan  salinan kata yang ditemukan, akan tetapi penulis Bible menuliskan apa yang mereka pikir sebagai  maknanya. Sehingga yang terjadi bukan pembetulan kesalahan, tetapi justru penambahan kesalahan.
Selain mengkaji Al-Quran, kaum orientalis juga mengkaji Hadits. Mereka menganggap bahwa hadits itu palsu semuanya, tidak otentik. Hal itu dikarenakan menurut mereka tidak ada bukti yang konkret bahwa As-sunnah itu benar-benar berasal dari Rasulullah. Para orientalis menyatakan bahwa hadits-hadits Rosulullah itu palsu semua, tidak otentik karena bukan berasal dari Nabi Muhammad SAW.  Adapun, Kaum orientalis yang dimaksud disini adalah para sarjana Barat yang nota benenya non nuslim (Yahudi, Kristen, dan Atheis) namun sibuk mengkaji Islam beserta seluk beluknya, Adapun pengikut orientalis yang dimaksud adalah kalangan muslim yang terpengaruh oleh tulisan-tulisan mereka lalu latah dan ikut-ikutan menolak Hadits secara keseluruhan.

Kekeliruan dan Khayalan Orientalis
Al-Quran merupakan target utama serangan misionaris dan orientalis Yahudi-Kristen, setelah mereka gagal menghancurkan sirah dan sunnah Rasulullah SAW. MEreka mempertanyakan status kenabian beliau,meragukan kebenaran riwayat hidup beliau, dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari legenda dan cerita fiktif belaka. Demikian pendapat Caetani, Wellhausen, dan lain-lain. Karena mereka sibuk merekonstruksi biografi Rasulullah SAW khususnya, dan sejarah Islam umumnya. Mereka ingin umat islam melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan terhadap nabi-nabi mereka. Dalam logika mereka, jika ada upaya pencarian Jesus Historis mengapa tidak ada pula pencarian fakta sejarah hidup RAsulullah?.
Sikap semacam ini juga tampak dalam kajian orientalis terhadap Hadits. Mereka menyamakan Sunnah dengan tradisi apokrypha dalam sejarah Kristen atau tradisi Aggada dalam agama Yahudi. Dalam khayalan mereka teori evolusi juga berlaku untuk sejarah hadits. Mereka berspekulasi bahwa apa yang dikenal sebagai hadits muncul beberapa ratus tahun sesudah Nabi Muhammad wafat, bahwa hadits-hadits mengalami tahap evolusi. Nama-nama dalam rantai periwayatan (sanad) mereka anggap tokoh fiktif. Penyandaran suatu hadits secara sistematik(isnad), menurut mereka baru muncul pada zaman Daulah Abbasiyyah. Semua usaha kaum orientalis missionaries tersebut tidak lain agar umat Islam membuang tuntunan Rasulullah SAW sebagaimana orang Kristen meragukan dan akhitnya mencampakan ajaran Jesus.

Survei Kronologis Kajian Orientalis Seputar Hadits
Gugatan orientalis terhadap hadits bewrmula pada pertengahan abad ke-19 Masehi, tatkala hampir  seluruh bagian dunia Islam telah masuk dalam cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Alois Sprenger adalah orang yang pertama kali mempersoalkan status Hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). Klaim ini diamini oleh rekan satu misinya William Muir, orientalis asal Inggris yang juga mengkaji biografi Nabi Muhammad SAW dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir, dalam literatur hadits, nama nabi Muhammad SAW sengaja dicatat untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan.
Selang beberapa lama setelah itu muncul Ignaz Goldziher. Orang Yahudi kelahiran Hungaria ini sempat nyantri di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir selama kurang lebih satu tahun(1873-1874). Setelah kembali ke Eropa, oleh rekan-rekannya ia dinobatkan sebagai sebagai orientalis yang konon paling mengerti tentang Islam, meskipun dan justru karena tulisan-tulisannya mengenai Islam sangat negative dan distortif, mengelirukan, dan menyesatkan. Menurutnya, hadits lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat Muslim pada periode kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam. Ini berarti menurut dia hadits adalah produk bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi wafat, bukan berasal dan asli dari beliau. Pendapat menyesatkan ini telah disanggah oleh sejumlah ilmuwan seperti Syaikh Musthafa as-Siba’I, Muhammad Abu Shuhbah, dan Abd al-Ghani Abd al-Khaliq.
Namun oleh para koleganya sesame misionaris, pendapat Goldziher tersebut disetujui seratus persen. David Samuel Margoliouth misalnya, turut meragukan otentisitas Hadits. Alasannya, pertama, karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Hadits telah dicatat sejak zaman Nabi SAW, dan kedua karena alas an lemahnya ingatan para perawinya. Masalah ini telah dijawab dan dijelaskan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khattib. Jika Henri Lammens (misio-naris Belgia) dan Leone  Caetani (misionaris Italia) mendakwa isnad muncul jauh setelah matan hadits ada dan merupakan fenomena internal dalam sejarah perkembangan Islam, maka Josef Horovitz berspekulasi bahwa sistem periwayatan hadits secara berantai(isnad) baru diperkenalkan dan diterapkan pada akhir abad pertama hijriah. Selanjutnya orientalis Jerman berdarah Yahudi ini mengatakan bahwa besar kemungkinan praktik isnad berasal dari dan dipengaruhi oleh tradisi lisan sebagaimana dikenal dalam literatur Yahudi. Spekulasi Horovitz ini belakangan digaungkan kembali oleh gregor schoeler. Diantaranya yang turut mengamini pendapat Goldziher adalah orientalis Inggris bernama Alfred Guillaume. Dalam bukunya mengenai sejarah hadits, mantan guru besar Universitas oxford ini mengklaim bahwa sangat sulit untuk mempercayai literatur hadits secara keseluruhannya sebagai rekaman otentik dari perkataan dan perbuatan Nabi SAW

Pengaruh Orientalis di Balik Gerakan Anti-Hadits
Gugatan para orientalis dan misionaris Yahudi dan Kristen itu telah menimbulkan dampak yang cukup besar. Melalui tulisan yang diterbitka dan dibaca luas, mereka telah berhasil mempengaruhi dan meracuni pemikiran sebagian kalangan umat islam. Maka muncullah gerakan anti Hadits di India, Pakistan, Mesir, dan Asia Tenggara.
Dalam propagandanya, gerakan ini mengklaim bahwa Al-Quran saja sudah cukup untuk menjelaskan semua perkara agama. Propaganda anti hadits ini belakangan diteruskan oleh Ghulam Ahmad Parwez dan Sayyid Rafi’uddin Multan, akan tetapi mendapatkan serangan balik dari para ulama’ setempat. Wabah anti hadits juga sempat merebak di Timur Tengah. Pemicunya adalah artikel Muhammad Tawfiq Shidqi yang dimuat dalam majalah al-Manar Kairo Mesir. Menurutnya perilaku Muhammad SAW, tidak dimaksudkan untuk ditiru seratus persen, umat islam semestinya berpegang cukup dengan Al-Quran saja
Heboh berikutnya timbul menyusul terbitnya karya-karya Mahmud Abu RAyyah yang tidak hanya menolak otentisitas sekaligus otoritas hadits maupun Sunnah, tapi juga mempersoalkan integritas para sahabat umumnya dan Abi Huraytah khususnya.
Gerakan Anti hadits di Amerika dipelopori oleh Rashad Khalifa, insinyur kimia lulusan Universitas Arizona. Gerakan yang ia namakan “The Qur’anis Society” ini secara resmi didirikan pada Juni 1983, menyusul seminar Misioanaris Kristen dan Yahudi di Amerika, dimana ia menyampaikan makalahnya yang berjudul ”Islam: Past present and Future.”dalam tulisan-tulisannya dia banyak mengeluarkan pernyataan menyesatkan seperti, “Hadits-hadits adalah ciptaan Iblis, mempercayai Hadits bermakna mempercayai ajaran Iblis.”
Gaung inkarus sunnah juga sampai ke Nusantara. Di Indonesia gerakan ini telah dilarang secara resmi oleh para Ulama dan pemerintah sebagaimana tertera dalam Fatwa hasil keputusan Komisa Fatwa MUI pusat tahun 1983 dan keputusan jaksa Agung RI, nomor 169/J.A./9/1983.

Tokoh-Tokoh Orientalis

1 Ignaz Goldzihar
Ignaz Goldzihar  lahir pada 22 juni 1850 di sebuah kota di Hongaria. Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh luas. Pendidikannya dimulai dari Budhaphes, kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869 hanya sau tahun kemudian pindah ke Universitas Leipzig. Dia sempat nyantri di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir selama kurang lebih satu tahun.
Goldzihar memaarkan sejarah dan perkembangan Hadits serta mengungkapkan urgensi hadits bukan daklam arti yang sebenarnya menurut islam. Menurutnya Hadits merupakan sumber utama untuk mengetahui tentang perbincangan politik, keagamaan, dan mistisisme dalam islam. Hadits dipakai sebagai senjata oleh masing-masing mazhab baik kelompok politik maupun paham fiqh berupaya menggunakan hadits sebagai alat untuk menguaai persoalan kehidupan di tengah umat islam. Jadi hadits tidak di gunakan sebagai alat untuk mengetahui perilaku Nabi, tetapi lebih untuk kepentingan tiap kelompk aliran baik politik maupun keagamaan.[4]
2. Joseph Schacht (1902-1969)
Orientalis Jerman spesialis dalam bidang fiqih islam, lahir pada 15 maret 1902 di Rottbur, Jerman. Dia memulai studi di perguruan tinggi dengan mendalami filologi klasik,teologi, serta bahasa-bahasa timur di universitas Prusla dan Leipzig. Pada tahun 1923 dia mendapatkan gelar sarjana tingkat pertama di universitas Prusla.[5]
Schacht mendefinisikan sunnah sebagai konsepsi arab kuno yang berlaku kembali sebagai salah satu pusat pemikiran dalam islam. Dia menilai bahwa Sunnah lebih berarti pada praktik ideal dari komunitas setempat. Konsep islam tentang kehidupan dipandangnya hanya sebagai sebuah pelestarian adat istiadat tradisi masyarakat arab pra islam, yang bercitikan dengan profane dan magis. Berciri magis maksudnya mengingat kaidah-kaidah hokum yang muncul dalam penyelidikan dan pembuktian dikuasai oleh prosedur-prosedur sacral, seperti ramalan, sumpah, dan kutuk. Dan profane mengingat bahwa hukum diperempit menjadi masalah ganti rugi dan pembayaran seperti contoh metode pembelajaran.
Kritik Metodologi dan Epistemologi Orientalis
Sebagaimana telah disinggung di atas, gugatan orientalis dan para pengikutnya terhadap hadits telah ditolak dan dijawab oleh sejumlah ulama pakar. Berikut ini akan diungkapkan kelemahan-kelemahan dan keselahan-kesalahan metodologis maupun epistemologis yang terdapat dalam  tulisan-tulisan orientalis dan para pengikutnya. Ambil sebagai  contoh karya Joseph Schacht. Menurut profesor Muhammad  Musthafa al-Azami, kekeliruan dan kesesatan Schacht dalam karyanya itu disebabkan oleh lima perkara, 1) sikapnya yang tidak konsisten dalam berteori dan menggunakan sumber rujukan, 2) bertolak dari asumsi-asumsi yang keliru dan metodologi yang tidak ilmiah, 3) salah dalam menangkap dan memahami sejumlah fakta, 4)ketidaktahuannya akan kondisi politik dan geografis yang dikaji, 5) salah faham mengenai istilah-istilah yang dipakai oleh para ulama Islam.[6]
Ada satu kelemahan yang paling menonjol dalam metodologi Schacht, yaitu seringnya dia menarik kesimpulan berdasarkan argumentum e silentio, yakni alas an ketiadaan bukti. Disebut demikian karena argument ini biasanya diungkapkan secara impersonal( dengan kalimat “the sources are silent regarding,,,,” atau “nothing is known about,,,,”dan sebagainya). Menurutnya ketiadaan bukti bukanlah bukti ketiadaan. Kerapuhan metodologi ini tidak terlalu mengejutkan, Karena Schacht dan orang-orang semacamnya memang berangkat dari niat yang buruk untuk merobohkan pilar-pilar Islam, agama yang dikagumi namun amat dibencinya itu. Itulah sebabnya oleh kalangan orientalis sendiri, karya Schacht tersebut cukup banyak dikritik.
Terkait dengan kerancuan metodologi tersebut adalah sikap paradox (berpendirian ganda) dan ambivalen(menganut nilai kebenaran ganda) yang tak terelakkan. Di satu sisi mereka meragukan dan bahkan mengingkari kebenaran sumber-sumber yang berasal dari orang Islam, sementara di sisi lain mereka menggunakan hokum-hukum Islam sebagai bahan referensi tanpa mereka sadari. Sikap paradox ini merupakan konsekuensi yang tak terelakkan dari dilemma metodologis antara merujuk atau tidak merujuk, antara mempercayai atau mengingkari sumber-sumber Islam.
Sikap ambivalen orientalis terungkap jelas, misalnya dalam kasus Juynboll, Coulson, dan Motzki. Ketiga orientalis ini tampak “plin-plan”, membenarkan dua tesis yang saling bertentangan nilainya. Di satu sisi ia berusaha keras untuk membantah Schacht dan membuktikan bahwa hadits otentik sudah beredar sejak kurun pertama Hijriah, namun disisi lain ia bersikeras mengingkari bahwa otentisitas hadits sulit dibuktikan
Adapun secara epistemologis, secara umum dapat dikatakan bahwa sikap orientalis dari awal hingga akhir penelitiannya adalah skeptis. Mereka meragukan kebenarang dan membenarkan keraguan. Akibatnya meskipun bukti-bukti yang ditemukan menegasikan hipotesanya, tetap saja mereka akan menolaknya, karena sesungguhnya yang mereka cari bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran.




 Kesimpulan

Serangan orientalis terhadap hadits dilancarkan secara bertahap, terencana, dan bersama-sama. Ada yang menyerang matannya dan ada yang menyerang isnadnya. Hal itu menuntup kita sebagai kaum muslim untuk waspada terhadap tulisan-tulisan kaum orientalis mengenai islam. Semua yang ditulis oleh mereka harus kita tanggapi secara kritis. Jika tidak, kita akan terjebak dalam jurang kesesatan karena terpengaruh oleh ide-ide  pemikiran kaum orientalis


[1] Wahyudin Darmalaksana.2004.Hadits di mata Orientalis.Benang Merah Press:Bandung.Hal.51-52
[2] www.google.com.Kumpulan Makalah.2Maret2009.
[3] www.google.com.Pengertian Orientalis.18 Oktober 2011
[4] Abdurrohman Badawi.2003.Ensiklopedi Tokoh Orientalis.LKis Yogyakarta:Yogyakarta.Hal.129 dan 131
[5] Ibid.hal 270-271
[6] Loc.it. hal110 dan 112

Tidak ada komentar: