As-Sunnah berdasarkan kaum Orientalis
Pendahuluan
Hadits menurut bahasa berarti
baru, dekat, atau berita. Sedangkan menurut istilah berarti segala ucapan,
perbuatan, dan ketetapan dari Nabi Muhammad SAW. Dalam Khazanah ilmu-ilmu
keislaman, istilah hadits sering disebut dengan istilah Sunnah yang menurut bahasa
berarti jalan yang dijalani baik yang terpuji ataupun tidak.
Dalam konteks sumber ajaran islam hadits atau sunnah menempati
urutan kedua setelah Al-Quran. Namun perlu kita ketahui bahwa as-sunnah atau
hadits masih menjadi perdebatan di kalangan kaum berilmu atau ulama’, yaitu
mengenai keshohihan suatu hadits. Ada eberapa kaum yang meyakini dan mengatakan
bahwa seluruh hadts itu Shohih semuanya dan adapula yang meyakini bahwa hadits
itu palsu belaka. Speperti halnya kaum orientalis yang cenderung pada pendapat
yang kedua, yaitu berkeyakinan bahwa semua Hadit itu tidak otentik atau palsu
semua karena tidak berasal dari Nabi Muhammad. Kaum orientalis yang dimaksud
disini adalah para sarjana Barat yang notabenenya non muslim (Yahudi,
Kristen,atau bahkan Atheis) Namun mereka sibuk mengkaji Islam beserta seluk
beluknya, Yang termasuk tokoh-tokoh orientalis adalah Ignaz Goldziher, Joseph
Schacht, G.H.A. Juyn Boll, dan lain-lain.
Dalam makalah ini pemakalah akan memaparkan tentang pengertian
orientalis, sejarah orientalis, pandangan orientalis, pengaruh orientalis. Dan ulasan
ringkas atas upaya-upaya yang dilakukan oleh para orientalis dalam menggugat
otentisitas Hadist Rosul dan meruntuhkan otoritasnya sebagai salah satu sumber
ajaran Islam.
Pembahasan
·
Pengertian Orientalisme
Orientalisme berasal dari
dua kata, orient dan isme diambil dari bahasa Latin oriri yang berati terbit. Secara
geografiskata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti
bangsa-bangsa timur. Sedangkan istilah isme berasal dari bahasa Belanda atau
isma dalam bahasa latin atau ism dalam bahasa Inggris yang berarti a
doctrine, theory of system, atau pendirian ,ilmu, paham kepercayaan, dan system. Jadi menurut bahasa
orientalisme diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia
Timur.[1] Adapun yang berpendapat bahwa orientalisme
adalah faham yang berkeinginan
menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa timur dan lainny. Faham
ini berfokus pada dunia Islam. Dengan demikian para orientalis mempunyai
harapan dalam mengkaji biografi Nabi Muhammad seperti merembetnya tuduhan dusta
dan pernah mendapat julukan sebagai ahli sihir, kekerasan, menyiarkan agama
dengan pedang.[2] Sedangkan orientalis
adalah orang-orang Barat yang menganut paham orientalisme.[3]
·
Sejarah,
Pertumbuhan, dan Perkembangan Orientalis
·
Selayang pandang tentang kajian orientalis
Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan
mantan guru besar di Universitas Birminghom, Inggris, mengumumkan bahwa, “sudah
tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Al-quran
sebagaimana telah kita lakukan terhadap
kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang
berbahasa Yunani. Adapun latar belakang mereka menyeru seperti demikian adalah
karena dilatarbelakangi oleh kekecewaan sarjana Kristen dan Yahudi terhadap
kitab suci mereka dan juga disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat
islam dan kitab suci Al-Quran. Perlu diketahui bahwa mayoritas ilmuwan dan
cendekiawan Kristen sudah lama meragukan otentisitas Bible yang ada di tangan
mereka saat ini terbukti bukan asli alias palsu. Banyak campur tangan manusia,
sehingga sukar dibedakan mana yang benar-benar asli dan mana yang bukan.
Menurut kaum orientalis, Bible yang beredar sekarang ini bukanlah
ditulis berdasarkan salinan kata yang
ditemukan, akan tetapi penulis Bible menuliskan apa yang mereka pikir
sebagai maknanya. Sehingga yang terjadi
bukan pembetulan kesalahan, tetapi justru penambahan kesalahan.
Selain mengkaji Al-Quran, kaum orientalis juga mengkaji Hadits.
Mereka menganggap bahwa hadits itu palsu semuanya, tidak otentik. Hal itu
dikarenakan menurut mereka tidak ada bukti yang konkret bahwa As-sunnah itu
benar-benar berasal dari Rasulullah. Para orientalis menyatakan bahwa
hadits-hadits Rosulullah itu palsu semua, tidak otentik karena bukan berasal
dari Nabi Muhammad SAW. Adapun, Kaum
orientalis yang dimaksud disini adalah para sarjana Barat yang nota benenya non
nuslim (Yahudi, Kristen, dan Atheis) namun sibuk mengkaji Islam beserta seluk
beluknya, Adapun pengikut orientalis yang dimaksud adalah kalangan muslim yang
terpengaruh oleh tulisan-tulisan mereka lalu latah dan ikut-ikutan menolak
Hadits secara keseluruhan.
Kekeliruan dan Khayalan
Orientalis
Al-Quran merupakan target utama serangan misionaris dan orientalis
Yahudi-Kristen, setelah mereka gagal menghancurkan sirah dan sunnah Rasulullah
SAW. MEreka mempertanyakan status kenabian beliau,meragukan kebenaran riwayat
hidup beliau, dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari legenda dan cerita
fiktif belaka. Demikian pendapat Caetani, Wellhausen, dan lain-lain. Karena mereka
sibuk merekonstruksi biografi Rasulullah SAW khususnya, dan sejarah Islam
umumnya. Mereka ingin umat islam melakukan hal yang sama seperti yang mereka
lakukan terhadap nabi-nabi mereka. Dalam logika mereka, jika ada upaya
pencarian Jesus Historis mengapa tidak ada pula pencarian fakta sejarah hidup
RAsulullah?.
Sikap semacam ini juga tampak dalam kajian orientalis terhadap
Hadits. Mereka menyamakan Sunnah dengan tradisi apokrypha dalam sejarah Kristen
atau tradisi Aggada dalam agama Yahudi. Dalam khayalan mereka teori evolusi
juga berlaku untuk sejarah hadits. Mereka berspekulasi bahwa apa yang dikenal
sebagai hadits muncul beberapa ratus tahun sesudah Nabi Muhammad wafat, bahwa
hadits-hadits mengalami tahap evolusi. Nama-nama dalam rantai periwayatan (sanad)
mereka anggap tokoh fiktif. Penyandaran suatu hadits secara sistematik(isnad),
menurut mereka baru muncul pada zaman Daulah Abbasiyyah. Semua usaha kaum
orientalis missionaries tersebut tidak lain agar umat Islam membuang tuntunan
Rasulullah SAW sebagaimana orang Kristen meragukan dan akhitnya mencampakan
ajaran Jesus.
Survei Kronologis Kajian
Orientalis Seputar Hadits
Gugatan orientalis
terhadap hadits bewrmula pada pertengahan abad ke-19 Masehi, tatkala hampir seluruh bagian dunia Islam telah masuk dalam
cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Alois Sprenger adalah orang yang
pertama kali mempersoalkan status Hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya
mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad, misionaris asal Jerman yang
pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan
anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). Klaim ini diamini oleh rekan satu
misinya William Muir, orientalis asal Inggris yang juga mengkaji biografi Nabi
Muhammad SAW dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir, dalam literatur
hadits, nama nabi Muhammad SAW sengaja dicatat untuk menutupi bermacam-macam
kebohongan dan keganjilan.
Selang beberapa lama
setelah itu muncul Ignaz Goldziher. Orang Yahudi kelahiran Hungaria ini sempat
nyantri di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir selama kurang lebih satu
tahun(1873-1874). Setelah kembali ke Eropa, oleh rekan-rekannya ia dinobatkan
sebagai sebagai orientalis yang konon paling mengerti tentang Islam, meskipun
dan justru karena tulisan-tulisannya mengenai Islam sangat negative dan
distortif, mengelirukan, dan menyesatkan. Menurutnya, hadits lebih merupakan
refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul
kemudian di kalangan masyarakat Muslim pada periode kematangannya, ketimbang
sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam. Ini berarti menurut dia hadits
adalah produk bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi wafat, bukan
berasal dan asli dari beliau. Pendapat menyesatkan ini telah disanggah oleh sejumlah
ilmuwan seperti Syaikh Musthafa as-Siba’I, Muhammad Abu Shuhbah, dan Abd
al-Ghani Abd al-Khaliq.
Namun oleh para
koleganya sesame misionaris, pendapat Goldziher tersebut disetujui seratus
persen. David Samuel Margoliouth misalnya, turut meragukan otentisitas Hadits.
Alasannya, pertama, karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Hadits telah
dicatat sejak zaman Nabi SAW, dan kedua karena alas an lemahnya ingatan para
perawinya. Masalah ini telah dijawab dan dijelaskan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khattib.
Jika Henri Lammens (misio-naris Belgia) dan Leone Caetani (misionaris Italia) mendakwa isnad
muncul jauh setelah matan hadits ada dan merupakan fenomena internal dalam
sejarah perkembangan Islam, maka Josef Horovitz berspekulasi bahwa sistem
periwayatan hadits secara berantai(isnad) baru diperkenalkan dan diterapkan
pada akhir abad pertama hijriah. Selanjutnya orientalis Jerman berdarah Yahudi
ini mengatakan bahwa besar kemungkinan praktik isnad berasal dari dan
dipengaruhi oleh tradisi lisan sebagaimana dikenal dalam literatur Yahudi.
Spekulasi Horovitz ini belakangan digaungkan kembali oleh gregor schoeler.
Diantaranya yang turut mengamini pendapat Goldziher adalah orientalis Inggris
bernama Alfred Guillaume. Dalam bukunya mengenai sejarah hadits, mantan guru
besar Universitas oxford ini mengklaim bahwa sangat sulit untuk mempercayai
literatur hadits secara keseluruhannya sebagai rekaman otentik dari perkataan
dan perbuatan Nabi SAW
Pengaruh Orientalis di
Balik Gerakan Anti-Hadits
Gugatan para orientalis
dan misionaris Yahudi dan Kristen itu telah menimbulkan dampak yang cukup
besar. Melalui tulisan yang diterbitka dan dibaca luas, mereka telah berhasil
mempengaruhi dan meracuni pemikiran sebagian kalangan umat islam. Maka
muncullah gerakan anti Hadits di India, Pakistan, Mesir, dan Asia Tenggara.
Dalam propagandanya,
gerakan ini mengklaim bahwa Al-Quran saja sudah cukup untuk menjelaskan semua
perkara agama. Propaganda anti hadits ini belakangan diteruskan oleh Ghulam
Ahmad Parwez dan Sayyid Rafi’uddin Multan, akan tetapi mendapatkan serangan
balik dari para ulama’ setempat. Wabah anti hadits juga sempat merebak di Timur
Tengah. Pemicunya adalah artikel Muhammad Tawfiq Shidqi yang dimuat dalam
majalah al-Manar Kairo Mesir. Menurutnya perilaku Muhammad SAW, tidak
dimaksudkan untuk ditiru seratus persen, umat islam semestinya berpegang cukup
dengan Al-Quran saja
Heboh berikutnya timbul
menyusul terbitnya karya-karya Mahmud Abu RAyyah yang tidak hanya menolak
otentisitas sekaligus otoritas hadits maupun Sunnah, tapi juga mempersoalkan
integritas para sahabat umumnya dan Abi Huraytah khususnya.
Gerakan Anti hadits di
Amerika dipelopori oleh Rashad Khalifa, insinyur kimia lulusan Universitas
Arizona. Gerakan yang ia namakan “The Qur’anis Society” ini secara resmi
didirikan pada Juni 1983, menyusul seminar Misioanaris Kristen dan Yahudi di
Amerika, dimana ia menyampaikan makalahnya yang berjudul ”Islam: Past present and Future.”dalam tulisan-tulisannya dia
banyak mengeluarkan pernyataan menyesatkan seperti, “Hadits-hadits adalah
ciptaan Iblis, mempercayai Hadits bermakna mempercayai ajaran Iblis.”
Gaung inkarus sunnah
juga sampai ke Nusantara. Di Indonesia gerakan ini telah dilarang secara resmi
oleh para Ulama dan pemerintah sebagaimana tertera dalam Fatwa hasil keputusan
Komisa Fatwa MUI pusat tahun 1983 dan keputusan jaksa Agung RI, nomor
169/J.A./9/1983.
Tokoh-Tokoh Orientalis
1 Ignaz Goldzihar
Ignaz Goldzihar lahir pada 22 juni 1850 di sebuah kota di
Hongaria. Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh
luas. Pendidikannya dimulai dari Budhaphes, kemudian melanjutkan ke Berlin pada
tahun 1869 hanya sau tahun kemudian pindah ke Universitas Leipzig. Dia sempat
nyantri di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir selama kurang lebih satu tahun.
Goldzihar memaarkan
sejarah dan perkembangan Hadits serta mengungkapkan urgensi hadits bukan daklam
arti yang sebenarnya menurut islam. Menurutnya Hadits merupakan sumber utama
untuk mengetahui tentang perbincangan politik, keagamaan, dan mistisisme dalam
islam. Hadits dipakai sebagai senjata oleh masing-masing mazhab baik kelompok
politik maupun paham fiqh berupaya menggunakan hadits sebagai alat untuk
menguaai persoalan kehidupan di tengah umat islam. Jadi hadits tidak di gunakan
sebagai alat untuk mengetahui perilaku Nabi, tetapi lebih untuk kepentingan
tiap kelompk aliran baik politik maupun keagamaan.[4]
2. Joseph Schacht
(1902-1969)
Orientalis Jerman
spesialis dalam bidang fiqih islam, lahir pada 15 maret 1902 di Rottbur,
Jerman. Dia memulai studi di perguruan tinggi dengan mendalami filologi
klasik,teologi, serta bahasa-bahasa timur di universitas Prusla dan Leipzig.
Pada tahun 1923 dia mendapatkan gelar sarjana tingkat pertama di universitas
Prusla.[5]
Schacht mendefinisikan
sunnah sebagai konsepsi arab kuno yang berlaku kembali sebagai salah satu pusat
pemikiran dalam islam. Dia menilai bahwa Sunnah lebih berarti pada praktik
ideal dari komunitas setempat. Konsep islam tentang kehidupan dipandangnya
hanya sebagai sebuah pelestarian adat istiadat tradisi masyarakat arab pra
islam, yang bercitikan dengan profane dan magis. Berciri magis maksudnya
mengingat kaidah-kaidah hokum yang muncul dalam penyelidikan dan pembuktian
dikuasai oleh prosedur-prosedur sacral, seperti ramalan, sumpah, dan kutuk. Dan
profane mengingat bahwa hukum diperempit menjadi masalah ganti rugi dan
pembayaran seperti contoh metode pembelajaran.
Kritik Metodologi dan
Epistemologi Orientalis
Sebagaimana telah
disinggung di atas, gugatan orientalis dan para pengikutnya terhadap hadits
telah ditolak dan dijawab oleh sejumlah ulama pakar. Berikut ini akan
diungkapkan kelemahan-kelemahan dan keselahan-kesalahan metodologis maupun
epistemologis yang terdapat dalam
tulisan-tulisan orientalis dan para pengikutnya. Ambil sebagai contoh karya Joseph Schacht. Menurut profesor
Muhammad Musthafa al-Azami, kekeliruan
dan kesesatan Schacht dalam karyanya itu disebabkan oleh lima perkara, 1)
sikapnya yang tidak konsisten dalam berteori dan menggunakan sumber rujukan, 2)
bertolak dari asumsi-asumsi yang keliru dan metodologi yang tidak ilmiah, 3)
salah dalam menangkap dan memahami sejumlah fakta, 4)ketidaktahuannya akan
kondisi politik dan geografis yang dikaji, 5) salah faham mengenai
istilah-istilah yang dipakai oleh para ulama Islam.[6]
Ada satu kelemahan yang
paling menonjol dalam metodologi Schacht, yaitu seringnya dia menarik kesimpulan
berdasarkan argumentum e silentio,
yakni alas an ketiadaan bukti. Disebut demikian karena argument ini biasanya
diungkapkan secara impersonal( dengan kalimat “the sources are silent regarding,,,,” atau “nothing is known about,,,,”dan sebagainya). Menurutnya ketiadaan
bukti bukanlah bukti ketiadaan. Kerapuhan metodologi ini tidak terlalu
mengejutkan, Karena Schacht dan orang-orang semacamnya memang berangkat dari
niat yang buruk untuk merobohkan pilar-pilar Islam, agama yang dikagumi namun
amat dibencinya itu. Itulah sebabnya oleh kalangan orientalis sendiri, karya
Schacht tersebut cukup banyak dikritik.
Terkait dengan
kerancuan metodologi tersebut adalah sikap paradox (berpendirian ganda) dan
ambivalen(menganut nilai kebenaran ganda) yang tak terelakkan. Di satu sisi
mereka meragukan dan bahkan mengingkari kebenaran sumber-sumber yang berasal
dari orang Islam, sementara di sisi lain mereka menggunakan hokum-hukum Islam
sebagai bahan referensi tanpa mereka sadari. Sikap paradox ini merupakan
konsekuensi yang tak terelakkan dari dilemma metodologis antara merujuk atau
tidak merujuk, antara mempercayai atau mengingkari sumber-sumber Islam.
Sikap ambivalen
orientalis terungkap jelas, misalnya dalam kasus Juynboll, Coulson, dan Motzki.
Ketiga orientalis ini tampak “plin-plan”, membenarkan dua tesis yang saling
bertentangan nilainya. Di satu sisi ia berusaha keras untuk membantah Schacht
dan membuktikan bahwa hadits otentik sudah beredar sejak kurun pertama Hijriah,
namun disisi lain ia bersikeras mengingkari bahwa otentisitas hadits sulit
dibuktikan
Adapun secara
epistemologis, secara umum dapat dikatakan bahwa sikap orientalis dari awal
hingga akhir penelitiannya adalah skeptis. Mereka meragukan kebenarang dan
membenarkan keraguan. Akibatnya meskipun bukti-bukti yang ditemukan menegasikan
hipotesanya, tetap saja mereka akan menolaknya, karena sesungguhnya yang mereka
cari bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran.
Kesimpulan
Serangan orientalis
terhadap hadits dilancarkan secara bertahap, terencana, dan bersama-sama. Ada
yang menyerang matannya dan ada yang menyerang isnadnya. Hal itu menuntup kita
sebagai kaum muslim untuk waspada terhadap tulisan-tulisan kaum orientalis
mengenai islam. Semua yang ditulis oleh mereka harus kita tanggapi secara
kritis. Jika tidak, kita akan terjebak dalam jurang kesesatan karena
terpengaruh oleh ide-ide pemikiran kaum
orientalis
[1] Wahyudin Darmalaksana.2004.Hadits
di mata Orientalis.Benang Merah Press:Bandung.Hal.51-52
[2] www.google.com.Kumpulan Makalah.2Maret2009.
[3] www.google.com.Pengertian Orientalis.18 Oktober 2011
[4] Abdurrohman Badawi.2003.Ensiklopedi
Tokoh Orientalis.LKis Yogyakarta:Yogyakarta.Hal.129 dan 131
[5] Ibid.hal 270-271
[6] Loc.it. hal110 dan 112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar