Rabu, 11 April 2012

makalah tentang mazhab-mazhab dalam ilmu Tauhid


Mazhab-Mazhab dalam Ilmu Tauhid

I.                   Pendahuluan
Ilmu kalam adalah ilmu yang mempelajari tentang ketauhidan. Dalam mempelajari ilmu ini kita tidak lepas dari pokok bahasan mengenai aliran-aliran yang membahas tettang ketauhidan. Aliran-aliran mulaio bermunculan semenjak Rasulullah wafat. Hal ini dikarenakan setelah Nabi wafat,sudah tidak ada lagi tumpuan untuk memecahkan persoalan-persoalan umat. Sedangkan setelah itu  umat banyak menemukan kemusykilan-kemusykilan yang belum pernah dialami sebelumnya. Sehingga dalam mena’wilkan masalah-masalah itu,banyak perbedaan pendapat antar orang. Sehingga mereka membuat kelompok-kelompok sebagai pengikut pendapatnya , sehingga terbentuklah aliran-aliran. Untuk lebih menjelaskan pembaca tentang aliran-aliran ini,  pemakalah mencoba menyajikan pokok bahasan mengenai bab tersebut
Untuk membatasi pokok bahasan tentang mazhab-mazhab ini, pemakalah hanya akan membahas pokok-pokok bahasan yang meliputi sebab-sebab munculnya mazhab-mazhab, macam-macam mazhab, serta pokok-pokok pemikirannya. Di bawah ini pemakalah akan menjelaskan dengan pokok bahasan yang mudah dimengerti. Sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami pokok-pokok bahasan mengenai bab mazhab-mazhab.

II.                Rumusan masalah
1.    Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan munculnya mazhab-mazhab?
2.    Apa sajakah macam-macam mazhab tersebut?
3.    Apa pokok-pokok pemikiran masing-masing mazhab tersebut?

III.             Pembahasan

v Penyebab munculnya Mazhab-mazhab
Permulaan dari perpecahan umat Islam, boleh dikatakan sejak wafatnya Nabi Muhammad. Tetapi perpecahan itu mulai mereda,setelah terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah. Namun setelah beberapa lama, mulai timbul perpecahan lagi, yang dihembuskan oleh orang-orang yang murtad dari Islam dan orang-orang yang mengumumkan dirinya menjadiNabi, seperti Musailamatul Kazzab, Thulaihah, Sajah, dan Al-Aswad al-Ansy.
Demikianlah berjalan masa-masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Ustman dalam kubu persatuan yang erat dan persaudaraan yang mesra. Dimasa ketiga khalifah ini digunakan kesempatan yang sebaik-baiknya untuk mengerahkan semua tenaga kaum Muslimin untuk menyiarkan dan mengembangkan Islam ke seluruh alam.
Tetapi setelah Islam meluas kemana-mana, tiba-tiba di akhir Khalifah Ustman, terjadi suatu masalah yang ditimbulkan oleh tindakannya yang kurang disetujui oleh pendapat umum. Pendapat itu adalah bahwa sebagian tindakan Ustman kurang sesuai dengan zaman.  Hal itu lah yang menyebabkan masyarakat menjadi kurang senang terhadapnya. Inilah asal fitnah yang membuka kesempatan orang-orang yang lapar kedudukan untuk menggulingkan kekuasaan Ustman. Yang mana berakibat terbunuhnya Saidina Ustman. Dan setelah kematiannya khalifahnya diganti Ali. Akkan tetapi pilihannya itu tanpa suara bulat,karena ada golongan yang tidak menyetujui pengangkatan tersebut. Bahkan ada yang menentang pengangkatan tersebut dan menuduh Ali ikut campur atau sekurang-kurangnya membiarkan komplotan pembunuhan Ustman. Semenjak itulah, berpangkalnya masalah yang menyebabkan perpecahan umat Islam hingga menjadi beberapa partai atau golongan. Diantaranya yaitu golongan Syi’ah, Khawarij, Mu’tazillah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Murjiah, Jabariyah, dan Qodariyah yang mana masing-masing akan pemakalah jelaskan pada bagian macam-macam mazhab.

v Macam-macam Mazhab

a.Khawarij
Aliran ini timbul setelah perang Shiffin antara Ali dan Mu’awiyah. Peperangan itu diakhiri dengan gencatan senjata, untuk mengadakan perundingan antara kedua belah pihak. Golongan khawarij adalah pengikut Ali, yang tidak setuju dengan adanya gencatan senjata dan perundingan itu. Lalu mereka memisahkan diri dari Ali, dan jadilah penentang Ali dan Mu’awiyah. Mereka mengatakan bahwa Ali tidak konsekuen dalam membela kebenaran.[1]
Seorang yang bernama Abu Muslim Al-khurasani, dapat mempengaruhi golongan ini untuk menggulingkanpemerintahan Mu’awiyah di Parsi. Setelah Khawarij itu berkembang selama dua abad,datang pulalah saat runtuhnya,lenyap hingga masa kini. Di masa jayanyadalam aliran ini timbul berbagai perpecahan menjadi beberpa golongan yang diantara lain, golongan azariqah dan golongan Abadhiah. Sedangkan golongan-golongan Khawarij yang yang dianggap keluar Islam, yaitu golongan Yazidiah(pengikut Yazid), golongan Maimuniah, dan golongan Syabibyah.

b.Syi’ah
Aliran ini merupakan golongan umat Islam yang terlampau mengagungkan keturunan-keturunan Nabi, mereka mendahulukan keturunan Nabi untuk menjadi Khalifah. Sudah kita ketahui bahwa setelah Nabi wafat, seorang dari keluarganya yang sudah Islam, pamannya Al-Abbas, ayahnya Ali, Ali putra pamannya itu menjadi menantunya pula. Kedua orang inilah yang terdekat keturunnya dengan Nabi. Sehingga kedua orang ini yang paling berhak mendapat julukan “keluarga Nabi”. Akan tetapi golongan Syi’ah menetapkan Imam Ali lah yang pantas memegang jabatan khalifah, sesudah Nabi. Al-Abbas pun merasa demikian.
Ali tidak pernah menonjolkan dirinya untuk merebut kekhalifahan, meskipun ia merupakan keluarga terdekat Nabi. Ali sadar bahwa yang berhak menjadi khalifah itu bukan karena keturunan,sebagaimana yang belaku di kerajaan-kerajaan, akan tetapi haruslah melalui pemilu dan persetujuan umat.
Sesudah Ali, kekhalifahan itu tetap turuntemurun kepada anak cucunya, dan ini seolah-olah merupakan ketetapan Allah. Tetapi dalam menentukan keturunan itu, timbul pula perbedaan pendapat. Ali mempunyai anak, Hasan dan Husein yang mana keduanya mempunyai beberpa anak pula. Sehingga timbullah pertikaian kepada siapa jatuhnya kekhalifahan. Akhirnya timbullah beberapa golongan Syi’ah yang masing-masing menetapkan siapa yang mereka sukai untuk menjadi Imam.Adapun golongan-golongan tersebut antar lain Az-Zaidiah, Al-Imamiah, dan Al-Isma’ilyah

c. Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah adalah aliran fikiran Islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan yang sangat penting orang yang hendak mengetahui filsafat islam yang sesungguhnya.[2] Aliran ini lahir kurang lebih pada permulaan abad kedua hijrah di kota Basrah, pusat ilmu dan peradaban islam kala itu.
Nama pendiri mazhab ini adalah Abu Hudzaifah Washil bin ‘Atha Al-Ghazali. Timbulnya dizaman Abdul Malik bin Marwan dan anaknya Hisyam ibnu Abdul Malik. Dinamakan golongan Mu’tazilah karena Washil memisahkan dirinya, karena berlainan pendapat dengan gurunya Al-Hasan Al-Bishry, tentang masalah orang Islam yang mengerjakan dosa besar yang belum taubat sebelum matinya. Golongan ini sendiri tidak suka dan tidak mau dinamakan Mu’tazilah. Mereka mengakui dirinya golongan pembela keadilan dan ketauhidan.

d. Asy’ariyah
Dalam suasana keMu’tazilah-an yang keruh, muncullah Asy’ariyah,dibesarkan dan dididik sampai mencapai umur lanjut.[3] Ia telah membela aliran Mu’tazilah dengan sebaik-baiknya, akan tetapi kemudian ditinggalkannya, bahkanmemberinya pukulan-pukulan hebat dan menganggapnya lawan yang berbahaya.
Pendiri aliran Asy’ariyah adalah Abdul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ary. Al-Asy’ary  lahir tahun 260 H/ 873M dan wafat tahun 324H/ 935M. Pada waktu kecilnya dia berguru pada seorang Mu’tazilah terkenal, yaitu Al-Jubba’i. Dia mengikuti aliran Mu’tazilah selama 40 tahundan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku keMu’tazilahan.
Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian pergi ke masjid Basrah. Di depan orang banyak ia mengatakan bahwa ia mula-mula mengatakan Qur’an itu makhluk; Tuhan tidak dapat dilihat matakepala; perbuatan buruk manusia sendiri yang memperbuatnya(semua pendapat Mu’tazilah) semua itu ditolaknya.
Penyebab Asy’ariyah meninggalkan Mu’tazilah adalah adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka jika tidak segera diakhiri. Ia sangat khawatir jika Qur’an dan Hadits menjadi korban paham-paham Mu’tazilah yang menurutnya tidak dapat dibenarkan, karena didasarkan atas pemujaan akal. Asy-Ariyah dalam hal pemikiran-pemikirannya mengambil jalan tengah antara golongan rasionalis dan golongan tekstualis dan ternyata jalan tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum Muslim.


e. Maturidiyah
Aliran Maturidiyah masih tergolong Ahli Sunnah seperti halnya aliran Asy’ariyah. Pendirinya adalah Muhammad bin Muhammad Abu Mansur. Ia dilahirkan di Maturid, daerah kecil di Samarkand kurang lebih pada pertengahan abad ketiga Hijrah dan meninggal di Samarkand juga pada tahun 332 H.
Maturidy semasa hidupnya dengan Asy’ary, hanya dia hidup di Samarkand, sedang Asy’ary di Basrah.. Asy’ary pengikut mazhab Syafi’i sedangkan Maturidy pengikut mazhab Hanafi.
Adapun perbedaan dari segi pemikiran antara Asy’ary dan Maturidy adalah menurut aliran Asy’ariyah, mengetahui Tuhan diwajibkan Syara’, sedangkan menurut Maturidy diwajibkan oleh akal. Selain itu menurut golongan Asy’ary sesuatu perbuatan tidak mempunyai sifat baik dan buruk. Baik dan buruk tidak lain karena diperintahkan Syara’ atau dilarangnya, sedangkan menurut Maturidy, pada tiap-tiap perbuatan itu sendiri ada sifat-sifat baik ataupun buruk.[4]

f. Qodariyah
Mazhab ini muncul  pada akhir abad pertama Hijrah. Yang menjadi pelopor dari mazhab ini adalah Ma’bah Al-Jauhani Al-Bishri, di tanah Iraq. Ia adalah seorang yang alim juga tentang Al-Qur’an dan al-Hadits. Akan tetapi kemudian ia menjadi sesat dan mendapat pendapat-pendapat yang salah. Akan tetapi setelah diketahui oleh Pemerintah Umayyah pada waktu itu, maka akhirnya ia dibunuh oleh Abdul Malik bin Marwan dan disulakan di Damsyik tahun 80 hijrah

g. Jabariyah
Golongan ini adalah gerakan yang menentang Qodariyah. Pendirinya adalah  Jaham bin Shafwan. Sehingga kadang-kadang paham ini disebut juga golongan Jahamyah. Jahamlah penggegas pendapat bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan terpaksa, tidak bebas dan tidak mempunyai kekuasaan sedikitpun untuk bertindak dalam mengerjakan segala sesuatu. Semua tindakan manusia sudah menjadi ketentuan Tuhan. Jadi manusia tidaklah bertanggung jawab atas perbuatannya.
Gerakan dan golongan ini mendapat tantangan yang hebat dari golongan-golongan dan para ulama di luar Jahamyah, yang menolak dan memberantas Jaham tersebut. Penolakan itu lebih-lebih ditandaskan kepada 2 soal:
1.                      Pendirian Jabariyah, bahwa manusia itu tidak mempunyai ikhtiar sedikitpun. Ajaran dan pendirian itu tentulah akan menjadikan manusia malas dan berputus asa, tidak mau bekerja. Bahkan akan berserah diri kepada Qodar saja. Hal itu pasti mengakinatkan kemunduran umat Islam.
2.                      Terhadap tawil yang berlebih-lebihan, mentakwilkan Al-Qur’an yang mengandung sifat-sifat Allah. Hal itu berarti membatasi memahamkan Al-Qur’an dari satu jurusan saja.  

 h. Murjiah
Aliran ini timbul di Damaskus pada akhir abad pertama Hijrah. Di namai Murjiah, karena lafadz ini berarti menunda atau mengembalikan. Mereka berpendapat bahwa orang-orang yang sudah mukmin yang berbuat dosa besar, hingga matinya tidak juga tobat, orang itu belum dapat kita hukum sekarang. Terserah atau ditunda serta dikembalikan saja urusannya kepada Allah kelak setelah hari kiamat.[5] 
Golongan Murjiah ini sangat mementingkan kewajiban-kewajiban sesama manusia daripada kewajiban-kewajiban terhadap agama, sekalipun ada nashnya dalam Al-Qur’an. Mereka mengutamakan dan memberian nilai yang tinggi kepad i’tiqad, bukanterhadap amalan-amalan yang lainnya dalam agama. Tetapi aliran ini sudah lenyap sama sekali, sebab ditindas dan dimusnahkan oleh Daulah Abbasyah, apalagi golongan ini penyokong Daulah Umayah.

v  Pokok-pokok Pemikiran aliran-aliran
a.       Aliran Khawarij[6]
1.      Setiap muslim tanpa melihat keturunan,bangsa, atau warna kulit, seorang keturunan budak sekalipun, yang perilaku hidupnya tidak tercela, dapat ditetapkan sebagai khalifah.
2.      Untuk menjadi imam atau Khalifah harus dipilih pleh rakyat secara demokratis.
3.      Orang yang berdosa besar, misalnya kearena membunuh dipandang sebagai orang kafir.
4.      Orang yang berperilaku buruk walaupun ibadahnya baik tetap masuk neraka
5.      Kehidupan yang baik adalah menyingkirkan diri dari keramaian, dengan jalan bertapa dan lainnya.
b.      Aliran Syiah
1.      Bahwa Ali bin Abi Thalib telah ditunjuk nabi dengan nash untuk menjadi Khalifah setelah Nabi wafat.
2.      Bahwa Imam (khalifah) harus keturunan nabi melalui garis Ali dan istrinya Fatimah binti Muhammad.
3.      Bahwa Imam (khalifah) wajib ma’sum artinya terpelihara dari dosa besar dan kecil.
c.       Aliran Mu’tazilah
1.      A-Tauhid, yaitu bahwa Allah itu Esa, satu dengan zat dan sifatnya, dan sifatnya itu adalah zat Allah itu sendiri
2.      Al-A’dal, artinya bahwa Allah itu adil, tidakmungkin  Allah menggerakkan manusia mengerjakan yang jahat. Allah hanya menyuruh berbuat yang baik. Oleh karena itu manusia menmpunyai ikhtiar sendiri dalam perbuatannya, tidak bergantung kepada kodrat irodat Allah.
3.      Manzilah bainal manzilataini, artinya bahwa dalam menetapkan tempat bagi orang-orang yang berdosa besar, yaitu diantara tempat orang mukmin dan orang kafir.
4.      Al-wa’ad wal wa’id, artinya jika Allah berjanji dengan pahala terhadap kebajikan, di tepati janji-Nya, begitu juga dengan janji siksaanNya, tidak ada hak memberi ampunan
5.      Amar ma’ruf dan nahi munkar, artinya bahwa Alah menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat jahat, yang hal itu menurut Mu’tazilah wajib karena akal bukan karena nash Al-Qur’an dan Al- hadits.
Selanjutnya kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an itu tidak abadi,dan hanya dipakai sebagai alat untuk wahyu, Apa yang didengar oleh nabi Muhammad bukan sabda Allah sendiri, melainkan hanya alat yang di buat untuk menyatakan kemauan-Nya 
d.      Aliran Asy’ariyah
Aliran ini tidak dapat jauh dari pemakaian rasio(akal) dan argumentasi pemikiran. Hal ini dikarenakan pendirinya dahulu pernah menjadi penganut aliran Mu’tazilah. Namun Aliran ini menggunakan rasio secara tidak berlebih-lebihan seperti Mu’tazilah.
Pokok-pokok pemikirannya yaitu:
1.      Sifat
Aliran ini mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, yang mana sifat-sifat tersebut sesuai dengan zat Tuhan sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk.
2.      Kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia
Manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh sesuatu.
3.      Melihat Tuhan pada hari kiamat
Aliran ini berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat, tetapi tidak menurut sara tertentu dan tidak pula pada arah tertentu.[7]
4.      Dosa Besar
Aliran ini mengatakan bahwa orang Mukmin yang mengesaan Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah dia akan diampuni-Nya atau langsung masuk surga, ataukah dijatuhi siksa karena kefasikannya, tetapi kemudian masuk surga.
e.       Aliran Maturidiyah
Aliran ini memiliki kemiripan dengan Asy’ariyah dalam hal tujuan, yaitu membendung dan melawan aliran Mu’tazilah. Perbedaannya hanyalah jika Asy’ariyah menghadapi negeri kelahiran aliran Mu’tazilah yaitu Basrah dan Irak, sedangkan Maturidiyah menghadapi Mu’tazilah di bagian negeri Samarkand dan Iran. Meskipun hampir mirip, namun memiliki beberapa perbedaan dalam hal pendapat. Contoh masalah yang menjadi perbedaan tersebut adalah:
- Apakah sifat-sifat Baqa’ itu sifat wujud atau bukan
- Bagaimana hakikat iman dan apa bisa bertambah atau    
  berkurang, dsb.
Pokok-pokok pemikirannya meliputi:[8]
1.      Kewajiban mengetahui Tuhan
Menurut Al-Maturidiyah, akal bisa mengetahui kewajiban untuk mengetahui kewajiban untuk mengetahui Tuhan, seperti yang diperintahkan oleh Tuhan dalam ayat-ayat Al-Qur’an untuk menyelidiki alam, bumi, dan langit. Namun, meskipun akal semata-mata sanggupmengetahi Tuhan, tetapi ia tidak sanggupmengethui dengan sendirinya hukum-hukum takfili (perintah-perintah Tuhan).
2.      Kebaikan dan keburukan menurut akal
Aliran ini mengakui adanya keburukan obyektif (yang terdapat pada sesuatu perbuatan itu sendiri) dan akal  bisa mengetahui kebaikan dan keburukan sebagian perbuatan. Seolah- olah mereka membagi perbuatan-perbuatan menjadi 3, yaitu sebagian yang dapat diketahui kebaikannya dengan akal semata,sebagian keburukan yang dapat diketahui akal, dan sebagian tidak jelas kebaikan dan keburukannya bagi akal dan hanya bisa diketahui melalui syara’.
3.      Hikmah dan tujuan perbuatan Tuhan
Menurut aliran ini perbuatan tuhan mengandung kebijaksanaan(hikmah), baik dalam ciptaan-ciptaan-Nya maupun dalam perintah ataupun larangan-Nya(takfili). Tetapi perbuatan Tuhan tersebut tidak karena paksaan. Oleh karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan irodat-Nya.
f.       Aliran Jabariyah
Aliran ini dalam berfikir tentang takdir menggunakan metode pasrah.  Maksudnya segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah kehendak tuhan. Begitu pula dengan perbuatan manusia adalah kehendak Tuhan. Sehingga dengan kata lain manusia tidak bertanggung jawab atas perbuatannya.



g.      Aliran Qodariyah
Aliran ini menggunakan paham kehendak bebas. Maksudnya segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah usaha dari manusia. Begitu pula dengan segala perbuatan manusia dan apa yang diperolehnya dianggap sebagai hasil jerih payahnya sendiri tanpa ada campur tangan dari Tuhan.
h.      Aliran murjiah
Aliran ini berpendapat bahwa dosa besar tidak merusak iman. Seperti halnya ketaatan, tidak memberi manfaat bagi orang kafir. Iman adalah pembenaran, pengakuan, keyakinan, dan pengetahuan. Sehingga dapat dikatakan iman terpisah dari perbuatan.[9] Perbuatan maksiat tidak akan merusak hakikat iman seseorang. Ada juga dari aliran ini yang berpendapat bahwa pelaku dosa diserahkan kepada Allah pada hari kiamat.




IV.             Kesimpulan
Dalam Islam terdapat banyak aliran-aliran dengan corak pemikiran yang berbeda-beda. Jikalaupun ada persamaan, biasanya Cuma sedikit dalam segi tertentu. Hal ini dikarenakan setiap orang memiliki main set yang tidak sama dalam menginterpretasikan segala sesuatu. Adapun pemikiran-pemikiran dari berbagai aliran tersebut ada yang melenceng dari ajaran Al-Qur’an dan Al-hadits. Sehingga kita sebagai seorang muslim harus selektif dalam memahami corak-corak masing-masing dari mereka, tidak langsung menganutnya dengan mengambil secara mentah-mentah. Di lihat dahulu apakah pemikiran itu sudah sesuai dengan landasan kita Al-Qur’an dan Al-Hadits atau tidak.





Daftar Pustaka

A.Hanafi.Pengantar Theologi Islam.PT.Jayamurni:Jakarta.1974
                .Theology Islam.PT.Bulan Bintang:Jakarta.1996
Hilman Hadikusuma.Antropologi Agama bagian 2.PT.Citra aditya Bakti:Bandung.1993
Imam Muh. Abu Zahrah.Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam.Logos Publishing House: Jakarta.1996
M. Thahir Abd. Mu’in.Ilmu Kalam.Widjaya:Jakarta.1966







[1] M. Thahir Abd. Mu’in.1996.Ilmu Kalam.Widjaya:Jakarta.hlm.98

[2] Ahmad Hanafi.1996.Theology islam.PT.Bulan Bintang:Jakarta.hlm.39
[3] M. Thahir Abd. Mu’in.opcit.hlm.58

[4] M. Thahir Abd. Mu’in.1996.opcit.hlm.70

[5] Ibid.hlm.100
[6] Hilman Hadikusuma.Antropologi Agama bagian 2.PT.Citra Aditya Bakti: Bandung.hlm.
[7] A.Hanafi.Pengantar Theologi Islam.Pustaka Al-Husna:Jakarta.1974.hlm.109
[8] Ibid.hlm.135-136
[9] Imam Muh.Abu Zahrah.Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam.Logos Publishing House:Jakarta.1996.hlm.143

Makalah Bursa Saham

BURSA SAHAM

A.    Pendahuluan
Dewasa ini telah terjadi kontroversi mengenai hukum dari bursa saham. Ada sebagian pendapat yang membolehkan dan ada juga sebagian pendapat yang mengharamkan praktik jual-beli bursa saham ini. Dengan adanya kontroversi ini banyak masyarakat khususnya konglomerat yang melakukan praktik jual beli ini yang bingung, resah, dan ragu akan hukumnya.[1]
Sebelumnya pemakalah akan mengenalkan apa bursa saham itu. Bursa saham adalah pasar yang di dalamnya berjalan usaha jual beli saham. Dalam praktiknya melibatkan para broker yang menjadi perantara antara penjual dan pembeli. Dengan adanya kasus di atas maka pemakalah akan membicaraan mengenai bursa saham mengenai macam transaksi, madharat, keuntungan, dan hukumnya.

B.     Pembahasan
v  Macam-macam transaksi bursa saham
1.      Dari sisi waktunya
- transaksi berjangka, yakni transaksi yang diputuskan setelah beberapa waktu kemudian ditentukan dan disepakati saat transaksi. Terkadang harus diklarifikasi lagi pada hari-hari yang telah ditetapkan oleh komite bursa dan ditentukan serah terimanya di muka. Adapun tujuan transaksi ini  hanya semacam investasi terhadap berbagai jenis harga tanpa keinginan untuk melakukan jual beli secara riil
-  transaksi instant, yakni transaksi dimana dua belah pihak pelaku transaksi melaukan serah terima jual beli secara langsung atau paling lambat 2 kali 24 jam. Transaksi ini tidak hanya sekedar transaksi semu saja tetapi bersifat riil.
Kedua transaksi ini terkadang menggunakan kertas-kertas berharga ataupun barang-barang dagangan.
2.      Dari sisi objek
-          Transaksi yang menggunakan barang-barang komoditi/ bursa komoditas. Transaksi ini dilakukan dengan menggunakan barang contoh dengan penyerahan tertunda
-          Transaksi dengan menggunakan kertas-kertas berharga( bursa efek) dimana objeknya saham dan giro.

v  Dampak-dampak positif Bursa saham
a.       Membuka pasar tetap yang mempermudah para pembeli dan penjual untuk saling bertemu lalu melakukan transaksi instant maupun berjangka terhadap kertas-kertas saham, giro, maupun barang-barang komoditi
b.      Mempermudah pendanaan pabrik-pabrik, perdagangan ,dan proyek pemerintah melalui penjualan saham dan kertas-kertas giro komersial
c.       Mempermudah penjualan-penjualan saham dan giro pinjaman kepada orang lain dan menggunakan nilainya. Karena para perusahaan yang mengeluarkan saham-saham itu tidak mematok harga murni untuk para pemiliknya.
d.      Mempermudah mengetahui timbangan harga-harga saham dan giro piutang serta barang-barang komoditi
v  Dampak-dampak negatif Bursa saham
a.       Transaksi berjangka dalam pasar saham ini sebagian besar bukanlah jual beli sesungguhnya. Karena tidak ada unsur serah terima dalam pasar saham ini antara kedua belah pihak yang bertransaksi, padahal syarat jual beli adalah adanya serah terima barang.
b.      Kebanyakan penjualan dalam pasar ini adalah penjualan sesuatu yang tidak dimiliki, baik mata uang, saham, giro piutang dengan harapan aan dibeli di pasar sesungguhnya dan diserah terimakan pada saat nantinya tanpa mengambil uang pembayaran terlebih dahulu.
c.       Pembei dalam pasar ini kebanyakan membeli kemudian menjual kembali barang yang dibelinya sebelum dia terima.
d.      Yang dilakukan para pemodal besar dengan memonopoli saham dan sejenisnya serta barang-barang komoditi komersial lain di pasaran agar bisa menekan pihak penjual  yang menjual barang-barang yang tidak mereka miliki.
e.       Harga—harga dalam pasar tidak sepenuhnya bersandar pada mekanisme pasar semata secara praktis dari pihak-pihak orang yang butuh jual-beli.
v  Hukum-hukum Syari’at tentang transaksi bursa saham
Dari penjelasan di atas, dengan adanya macam-macam bentuk transaksi bursa saham baik  dari sisi waktu dan objeknya, maka tidak mungkin ditetapkan hokum syari’atnya dalam skala umum. Harus dirinci terlebih dahulu baru masing-masing jenis transaksinya ditentukan hukumnya secara terpisah.
Lembaga pengkajian fiqih yang mengikuti Rabithah al-‘alam al islami telah merinci dan menetapkan hokum masing-masing transaksi telah memberikan keputusan mengenai praktik transaksi jual beli saham sebagai berikut:
a.       Pasar bursa saham itu target utamanya adalah menciptakan pasar tetap dan simultan dimana mekanisme pasar yang terjadi serta para pedagang dan pembeli dapat saling bertemu melakukan transaksi jual beli.ini satu hal yang baik dan bermanfaat, dapat mencegah para pengusaha yang mengambil kesempatan orang-orang yang lugu yang ingin melakukan jual beli tetapi harga asli, bahkan tidak tahu yang mau menjual /membeli sesuatu kepada mereka
b.      Bahwa transaksi instant terhadap barang-barang yang ada dalam kepemilikan penjual untuk diserahterimakan bila syaratkan harus ada serah terima langsung pada saat transaksi menurut syariat adalah transaksi yang diperbolehkan selama barang itu tidak haram
c.       Bahwa transaksi instant maupun berjangka terhadap kuitansi piutang dengan sistem bunga yang berbagai macam bentuknya tidaklah diperbolehkan menurut syari’at karena semua itu aktivitas jual beli yang didasari dengan riba
d.      Sesungguhnya transaksi instant terhadap saham-saham perusahaan dan badan usaha kalau saham itu memang berada dalam kepemilikan penjual boleh-boleh saja menurut syari’at selama dasar usahanya tidak haram
e.       Bahwa transaksi berjangka dengan segala bentuknya terhadap barang gelap(tidak dalam kepemilikan si penjual) tidaklah diperbolehkan menurut syari’at karena telah menjual barang yang tidak dimiliki. Sebagaimana hadits shohih dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda
“ janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak engkau miliki”
f.       Transaksi berjangka dalam pasar bursa bukanlah jual beli yang diperbolehkan dalam syariat Islam, karena berbeda dalam dua hal:
1.      Dalam bursa saham harga barang tidak dibayar langsung saat transaksi.
2.      Dalam pasar bursa barang transaksi dijual beberapa kali penjualan dalam kepemilikan penjual pertama
C.     Kesimpulan
Dengan demikian pemakalah dapat menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya jual-beli / bertransaksi bursa saham diperbolehkan. Namun semua itu juga kembali pada bagaimana cara transaksi tersebut. Apabila bentuk transaksi tersebut menyimpang dari syarat sah jual beli dan jual-beli tersebut merugikan salah satu pihak atau lebih parahnya terdapat unsur penipuan maka transaksi tersebut hukumnya haram

D.    Daftar Pustaka
Abu Umar Basyir.FIKIH EKONOMI KEUANGAN ISLAM.Darul Haq: Jakarta.2004












[1] Abu Umar Basyir, FIKIH EKONOMI KEUANGAN ISLAM, Darul Haq: Jakarta,2004

Makalah tentang As-Sunnah Berdasarkan Kaum Orientalis

As-Sunnah berdasarkan kaum Orientalis


Pendahuluan
                Hadits menurut bahasa berarti baru, dekat, atau berita. Sedangkan menurut istilah berarti segala ucapan, perbuatan, dan ketetapan dari Nabi Muhammad SAW. Dalam Khazanah ilmu-ilmu keislaman, istilah hadits sering disebut dengan istilah Sunnah yang menurut bahasa berarti jalan yang dijalani baik yang terpuji ataupun tidak.
Dalam konteks sumber ajaran islam hadits atau sunnah menempati urutan kedua setelah Al-Quran. Namun perlu kita ketahui bahwa as-sunnah atau hadits masih menjadi perdebatan di kalangan kaum berilmu atau ulama’, yaitu mengenai keshohihan suatu hadits. Ada eberapa kaum yang meyakini dan mengatakan bahwa seluruh hadts itu Shohih semuanya dan adapula yang meyakini bahwa hadits itu palsu belaka. Speperti halnya kaum orientalis yang cenderung pada pendapat yang kedua, yaitu berkeyakinan bahwa semua Hadit itu tidak otentik atau palsu semua karena tidak berasal dari Nabi Muhammad. Kaum orientalis yang dimaksud disini adalah para sarjana Barat yang notabenenya non muslim (Yahudi, Kristen,atau bahkan Atheis) Namun mereka sibuk mengkaji Islam beserta seluk beluknya, Yang termasuk tokoh-tokoh orientalis adalah Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, G.H.A. Juyn Boll, dan lain-lain.
Dalam makalah ini pemakalah akan memaparkan tentang pengertian orientalis, sejarah orientalis, pandangan orientalis, pengaruh orientalis. Dan ulasan ringkas atas upaya-upaya yang dilakukan oleh para orientalis dalam menggugat otentisitas Hadist Rosul dan meruntuhkan otoritasnya sebagai salah satu sumber ajaran Islam.


Pembahasan
·         Pengertian Orientalisme
Orientalisme berasal dari dua kata, orient dan isme diambil dari bahasa Latin oriri yang berati terbit. Secara geografiskata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Sedangkan istilah isme berasal dari bahasa Belanda atau isma dalam bahasa latin atau ism dalam bahasa Inggris yang berarti  a doctrine, theory of system, atau pendirian ,ilmu, paham kepercayaan, dan system. Jadi menurut bahasa orientalisme diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia Timur.[1]  Adapun yang berpendapat bahwa orientalisme adalah faham yang berkeinginan  menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa timur dan lainny. Faham ini berfokus pada dunia Islam. Dengan demikian para orientalis mempunyai harapan dalam mengkaji biografi Nabi Muhammad seperti merembetnya tuduhan dusta dan pernah mendapat julukan sebagai ahli sihir, kekerasan, menyiarkan agama dengan pedang.[2] Sedangkan orientalis adalah orang-orang Barat yang menganut paham orientalisme.[3]
·         Sejarah, Pertumbuhan, dan Perkembangan Orientalis




·         Selayang pandang tentang kajian orientalis
Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan mantan guru besar di Universitas Birminghom, Inggris, mengumumkan bahwa, “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Al-quran sebagaimana  telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani. Adapun latar belakang mereka menyeru seperti demikian adalah karena dilatarbelakangi oleh kekecewaan sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan juga disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat islam dan kitab suci Al-Quran. Perlu diketahui bahwa mayoritas ilmuwan dan cendekiawan Kristen sudah lama meragukan otentisitas Bible yang ada di tangan mereka saat ini terbukti bukan asli alias palsu. Banyak campur tangan manusia, sehingga sukar dibedakan mana yang benar-benar asli dan mana yang bukan.
Menurut kaum orientalis, Bible yang beredar sekarang ini bukanlah ditulis berdasarkan  salinan kata yang ditemukan, akan tetapi penulis Bible menuliskan apa yang mereka pikir sebagai  maknanya. Sehingga yang terjadi bukan pembetulan kesalahan, tetapi justru penambahan kesalahan.
Selain mengkaji Al-Quran, kaum orientalis juga mengkaji Hadits. Mereka menganggap bahwa hadits itu palsu semuanya, tidak otentik. Hal itu dikarenakan menurut mereka tidak ada bukti yang konkret bahwa As-sunnah itu benar-benar berasal dari Rasulullah. Para orientalis menyatakan bahwa hadits-hadits Rosulullah itu palsu semua, tidak otentik karena bukan berasal dari Nabi Muhammad SAW.  Adapun, Kaum orientalis yang dimaksud disini adalah para sarjana Barat yang nota benenya non nuslim (Yahudi, Kristen, dan Atheis) namun sibuk mengkaji Islam beserta seluk beluknya, Adapun pengikut orientalis yang dimaksud adalah kalangan muslim yang terpengaruh oleh tulisan-tulisan mereka lalu latah dan ikut-ikutan menolak Hadits secara keseluruhan.

Kekeliruan dan Khayalan Orientalis
Al-Quran merupakan target utama serangan misionaris dan orientalis Yahudi-Kristen, setelah mereka gagal menghancurkan sirah dan sunnah Rasulullah SAW. MEreka mempertanyakan status kenabian beliau,meragukan kebenaran riwayat hidup beliau, dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari legenda dan cerita fiktif belaka. Demikian pendapat Caetani, Wellhausen, dan lain-lain. Karena mereka sibuk merekonstruksi biografi Rasulullah SAW khususnya, dan sejarah Islam umumnya. Mereka ingin umat islam melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan terhadap nabi-nabi mereka. Dalam logika mereka, jika ada upaya pencarian Jesus Historis mengapa tidak ada pula pencarian fakta sejarah hidup RAsulullah?.
Sikap semacam ini juga tampak dalam kajian orientalis terhadap Hadits. Mereka menyamakan Sunnah dengan tradisi apokrypha dalam sejarah Kristen atau tradisi Aggada dalam agama Yahudi. Dalam khayalan mereka teori evolusi juga berlaku untuk sejarah hadits. Mereka berspekulasi bahwa apa yang dikenal sebagai hadits muncul beberapa ratus tahun sesudah Nabi Muhammad wafat, bahwa hadits-hadits mengalami tahap evolusi. Nama-nama dalam rantai periwayatan (sanad) mereka anggap tokoh fiktif. Penyandaran suatu hadits secara sistematik(isnad), menurut mereka baru muncul pada zaman Daulah Abbasiyyah. Semua usaha kaum orientalis missionaries tersebut tidak lain agar umat Islam membuang tuntunan Rasulullah SAW sebagaimana orang Kristen meragukan dan akhitnya mencampakan ajaran Jesus.

Survei Kronologis Kajian Orientalis Seputar Hadits
Gugatan orientalis terhadap hadits bewrmula pada pertengahan abad ke-19 Masehi, tatkala hampir  seluruh bagian dunia Islam telah masuk dalam cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Alois Sprenger adalah orang yang pertama kali mempersoalkan status Hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). Klaim ini diamini oleh rekan satu misinya William Muir, orientalis asal Inggris yang juga mengkaji biografi Nabi Muhammad SAW dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir, dalam literatur hadits, nama nabi Muhammad SAW sengaja dicatat untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan.
Selang beberapa lama setelah itu muncul Ignaz Goldziher. Orang Yahudi kelahiran Hungaria ini sempat nyantri di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir selama kurang lebih satu tahun(1873-1874). Setelah kembali ke Eropa, oleh rekan-rekannya ia dinobatkan sebagai sebagai orientalis yang konon paling mengerti tentang Islam, meskipun dan justru karena tulisan-tulisannya mengenai Islam sangat negative dan distortif, mengelirukan, dan menyesatkan. Menurutnya, hadits lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat Muslim pada periode kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam. Ini berarti menurut dia hadits adalah produk bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi wafat, bukan berasal dan asli dari beliau. Pendapat menyesatkan ini telah disanggah oleh sejumlah ilmuwan seperti Syaikh Musthafa as-Siba’I, Muhammad Abu Shuhbah, dan Abd al-Ghani Abd al-Khaliq.
Namun oleh para koleganya sesame misionaris, pendapat Goldziher tersebut disetujui seratus persen. David Samuel Margoliouth misalnya, turut meragukan otentisitas Hadits. Alasannya, pertama, karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Hadits telah dicatat sejak zaman Nabi SAW, dan kedua karena alas an lemahnya ingatan para perawinya. Masalah ini telah dijawab dan dijelaskan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khattib. Jika Henri Lammens (misio-naris Belgia) dan Leone  Caetani (misionaris Italia) mendakwa isnad muncul jauh setelah matan hadits ada dan merupakan fenomena internal dalam sejarah perkembangan Islam, maka Josef Horovitz berspekulasi bahwa sistem periwayatan hadits secara berantai(isnad) baru diperkenalkan dan diterapkan pada akhir abad pertama hijriah. Selanjutnya orientalis Jerman berdarah Yahudi ini mengatakan bahwa besar kemungkinan praktik isnad berasal dari dan dipengaruhi oleh tradisi lisan sebagaimana dikenal dalam literatur Yahudi. Spekulasi Horovitz ini belakangan digaungkan kembali oleh gregor schoeler. Diantaranya yang turut mengamini pendapat Goldziher adalah orientalis Inggris bernama Alfred Guillaume. Dalam bukunya mengenai sejarah hadits, mantan guru besar Universitas oxford ini mengklaim bahwa sangat sulit untuk mempercayai literatur hadits secara keseluruhannya sebagai rekaman otentik dari perkataan dan perbuatan Nabi SAW

Pengaruh Orientalis di Balik Gerakan Anti-Hadits
Gugatan para orientalis dan misionaris Yahudi dan Kristen itu telah menimbulkan dampak yang cukup besar. Melalui tulisan yang diterbitka dan dibaca luas, mereka telah berhasil mempengaruhi dan meracuni pemikiran sebagian kalangan umat islam. Maka muncullah gerakan anti Hadits di India, Pakistan, Mesir, dan Asia Tenggara.
Dalam propagandanya, gerakan ini mengklaim bahwa Al-Quran saja sudah cukup untuk menjelaskan semua perkara agama. Propaganda anti hadits ini belakangan diteruskan oleh Ghulam Ahmad Parwez dan Sayyid Rafi’uddin Multan, akan tetapi mendapatkan serangan balik dari para ulama’ setempat. Wabah anti hadits juga sempat merebak di Timur Tengah. Pemicunya adalah artikel Muhammad Tawfiq Shidqi yang dimuat dalam majalah al-Manar Kairo Mesir. Menurutnya perilaku Muhammad SAW, tidak dimaksudkan untuk ditiru seratus persen, umat islam semestinya berpegang cukup dengan Al-Quran saja
Heboh berikutnya timbul menyusul terbitnya karya-karya Mahmud Abu RAyyah yang tidak hanya menolak otentisitas sekaligus otoritas hadits maupun Sunnah, tapi juga mempersoalkan integritas para sahabat umumnya dan Abi Huraytah khususnya.
Gerakan Anti hadits di Amerika dipelopori oleh Rashad Khalifa, insinyur kimia lulusan Universitas Arizona. Gerakan yang ia namakan “The Qur’anis Society” ini secara resmi didirikan pada Juni 1983, menyusul seminar Misioanaris Kristen dan Yahudi di Amerika, dimana ia menyampaikan makalahnya yang berjudul ”Islam: Past present and Future.”dalam tulisan-tulisannya dia banyak mengeluarkan pernyataan menyesatkan seperti, “Hadits-hadits adalah ciptaan Iblis, mempercayai Hadits bermakna mempercayai ajaran Iblis.”
Gaung inkarus sunnah juga sampai ke Nusantara. Di Indonesia gerakan ini telah dilarang secara resmi oleh para Ulama dan pemerintah sebagaimana tertera dalam Fatwa hasil keputusan Komisa Fatwa MUI pusat tahun 1983 dan keputusan jaksa Agung RI, nomor 169/J.A./9/1983.

Tokoh-Tokoh Orientalis

1 Ignaz Goldzihar
Ignaz Goldzihar  lahir pada 22 juni 1850 di sebuah kota di Hongaria. Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh luas. Pendidikannya dimulai dari Budhaphes, kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869 hanya sau tahun kemudian pindah ke Universitas Leipzig. Dia sempat nyantri di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir selama kurang lebih satu tahun.
Goldzihar memaarkan sejarah dan perkembangan Hadits serta mengungkapkan urgensi hadits bukan daklam arti yang sebenarnya menurut islam. Menurutnya Hadits merupakan sumber utama untuk mengetahui tentang perbincangan politik, keagamaan, dan mistisisme dalam islam. Hadits dipakai sebagai senjata oleh masing-masing mazhab baik kelompok politik maupun paham fiqh berupaya menggunakan hadits sebagai alat untuk menguaai persoalan kehidupan di tengah umat islam. Jadi hadits tidak di gunakan sebagai alat untuk mengetahui perilaku Nabi, tetapi lebih untuk kepentingan tiap kelompk aliran baik politik maupun keagamaan.[4]
2. Joseph Schacht (1902-1969)
Orientalis Jerman spesialis dalam bidang fiqih islam, lahir pada 15 maret 1902 di Rottbur, Jerman. Dia memulai studi di perguruan tinggi dengan mendalami filologi klasik,teologi, serta bahasa-bahasa timur di universitas Prusla dan Leipzig. Pada tahun 1923 dia mendapatkan gelar sarjana tingkat pertama di universitas Prusla.[5]
Schacht mendefinisikan sunnah sebagai konsepsi arab kuno yang berlaku kembali sebagai salah satu pusat pemikiran dalam islam. Dia menilai bahwa Sunnah lebih berarti pada praktik ideal dari komunitas setempat. Konsep islam tentang kehidupan dipandangnya hanya sebagai sebuah pelestarian adat istiadat tradisi masyarakat arab pra islam, yang bercitikan dengan profane dan magis. Berciri magis maksudnya mengingat kaidah-kaidah hokum yang muncul dalam penyelidikan dan pembuktian dikuasai oleh prosedur-prosedur sacral, seperti ramalan, sumpah, dan kutuk. Dan profane mengingat bahwa hukum diperempit menjadi masalah ganti rugi dan pembayaran seperti contoh metode pembelajaran.
Kritik Metodologi dan Epistemologi Orientalis
Sebagaimana telah disinggung di atas, gugatan orientalis dan para pengikutnya terhadap hadits telah ditolak dan dijawab oleh sejumlah ulama pakar. Berikut ini akan diungkapkan kelemahan-kelemahan dan keselahan-kesalahan metodologis maupun epistemologis yang terdapat dalam  tulisan-tulisan orientalis dan para pengikutnya. Ambil sebagai  contoh karya Joseph Schacht. Menurut profesor Muhammad  Musthafa al-Azami, kekeliruan dan kesesatan Schacht dalam karyanya itu disebabkan oleh lima perkara, 1) sikapnya yang tidak konsisten dalam berteori dan menggunakan sumber rujukan, 2) bertolak dari asumsi-asumsi yang keliru dan metodologi yang tidak ilmiah, 3) salah dalam menangkap dan memahami sejumlah fakta, 4)ketidaktahuannya akan kondisi politik dan geografis yang dikaji, 5) salah faham mengenai istilah-istilah yang dipakai oleh para ulama Islam.[6]
Ada satu kelemahan yang paling menonjol dalam metodologi Schacht, yaitu seringnya dia menarik kesimpulan berdasarkan argumentum e silentio, yakni alas an ketiadaan bukti. Disebut demikian karena argument ini biasanya diungkapkan secara impersonal( dengan kalimat “the sources are silent regarding,,,,” atau “nothing is known about,,,,”dan sebagainya). Menurutnya ketiadaan bukti bukanlah bukti ketiadaan. Kerapuhan metodologi ini tidak terlalu mengejutkan, Karena Schacht dan orang-orang semacamnya memang berangkat dari niat yang buruk untuk merobohkan pilar-pilar Islam, agama yang dikagumi namun amat dibencinya itu. Itulah sebabnya oleh kalangan orientalis sendiri, karya Schacht tersebut cukup banyak dikritik.
Terkait dengan kerancuan metodologi tersebut adalah sikap paradox (berpendirian ganda) dan ambivalen(menganut nilai kebenaran ganda) yang tak terelakkan. Di satu sisi mereka meragukan dan bahkan mengingkari kebenaran sumber-sumber yang berasal dari orang Islam, sementara di sisi lain mereka menggunakan hokum-hukum Islam sebagai bahan referensi tanpa mereka sadari. Sikap paradox ini merupakan konsekuensi yang tak terelakkan dari dilemma metodologis antara merujuk atau tidak merujuk, antara mempercayai atau mengingkari sumber-sumber Islam.
Sikap ambivalen orientalis terungkap jelas, misalnya dalam kasus Juynboll, Coulson, dan Motzki. Ketiga orientalis ini tampak “plin-plan”, membenarkan dua tesis yang saling bertentangan nilainya. Di satu sisi ia berusaha keras untuk membantah Schacht dan membuktikan bahwa hadits otentik sudah beredar sejak kurun pertama Hijriah, namun disisi lain ia bersikeras mengingkari bahwa otentisitas hadits sulit dibuktikan
Adapun secara epistemologis, secara umum dapat dikatakan bahwa sikap orientalis dari awal hingga akhir penelitiannya adalah skeptis. Mereka meragukan kebenarang dan membenarkan keraguan. Akibatnya meskipun bukti-bukti yang ditemukan menegasikan hipotesanya, tetap saja mereka akan menolaknya, karena sesungguhnya yang mereka cari bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran.




 Kesimpulan

Serangan orientalis terhadap hadits dilancarkan secara bertahap, terencana, dan bersama-sama. Ada yang menyerang matannya dan ada yang menyerang isnadnya. Hal itu menuntup kita sebagai kaum muslim untuk waspada terhadap tulisan-tulisan kaum orientalis mengenai islam. Semua yang ditulis oleh mereka harus kita tanggapi secara kritis. Jika tidak, kita akan terjebak dalam jurang kesesatan karena terpengaruh oleh ide-ide  pemikiran kaum orientalis


[1] Wahyudin Darmalaksana.2004.Hadits di mata Orientalis.Benang Merah Press:Bandung.Hal.51-52
[2] www.google.com.Kumpulan Makalah.2Maret2009.
[3] www.google.com.Pengertian Orientalis.18 Oktober 2011
[4] Abdurrohman Badawi.2003.Ensiklopedi Tokoh Orientalis.LKis Yogyakarta:Yogyakarta.Hal.129 dan 131
[5] Ibid.hal 270-271
[6] Loc.it. hal110 dan 112